Jumat, 29 Juni 2018

Apa yang Membuat Jepang Jadi Cahaya (Sepak Bola) Asia?

BERITA LUCU INDONESIA - Aliou Cisse boleh saja berpenampilan layaknya bintang rock yang tersasar ke lapangan hijau. Namun, pelatih Tim Nasional (Timnas) Senegal itu punya pembawaan yang begitu tenang. Bahkan, ketika ada sebuah stereotip berbau rasial yang hendak dilawannya sekalipun, Cisse memilih untuk tidak larut dalam amarah.
Jepang dan Senegal harus bentrok pada pertandingan kedua Grup H, Minggu (24/6/2018) pekan lalu. Sebelumnya, kedua negara tersebut sukses mengandaskan lawan-lawannya yang di atas kertas lebih dijagokan. Jepang menundukkan Kolombia, Senegal menjungkalkan Polandia. Sontak, laga antara kedua negara itu pun jadi laga yang lebih disorot ketimbang laga antara Polandia dan Kolombia.
Selain karena hasil di laga perdana, sorotan juga diberikan kepada laga antara Jepang dan Senegal karena laga tersebut dianggap sebagai bentrok dua kutub dalam sepak bola. Teknik Jepang bakal diadang Senegal dengan kekuatannya. Setidaknya, begitulah anggapan yang tersebar di benak khalayak.
Namun, Cisse menolak anggapan itu. Bagi pria 42 tahun tersebut, mengasosiasikan Jepang dengan teknik dan Senegal dengan otot adalah stereotyping yang malas. Menurut Cisse, Jepang juga punya kekuatan fisik bagus, sementara Senegal pun memiliki modal selain kecepatan serta kekuatan.
Apa yang dikatakan Cisse itu memang benar. Biar bagaimana pun, sepak bola adalah titik temu dari banyak aspek, mulai dari fisik, teknik, sampai mental. Akan tetapi, ada alasan mengapa orang mengasosiasikan Jepang dengan kualitas teknik yang bagus. Ada musabab di balik kemunculan citra semacam itu di bayangan orang dan itu semua berasal dari bagaimana Jepang sendiri membangun sepak bolanya pada akhir dekade 1980-an silam.
Berawal dari Keterpurukan
Sampai pada 1988, Jepang adalah anak bawang di dunia sepak bola. Sebelumnya, jangankan lolos ke Piala Dunia, masuk putaran final Piala Asia saja mereka belum pernah merasakan. Memang betul bahwa Jepang pernah meraih medali perunggu di Olimpiade 1968, tetapi prestasi apik itu sama sekali tidak mampu mengangkat kualitas persepakbolaan Jepang secara holistik.
Hulu dari persoalan di sepak bola Jepang ini cuma satu, yakni bahwa orang-orang di sana memang tidak tertarik dengan olahraga sebelas melawan sebelas ini. Sampai pada titik itu, bisbol masih jadi primadona meskipun sebenarnya, upaya memopulerkan sepak bola sudah dilakukan sedemikian rupa.
Nyatanya, upaya yang sedemikian rupa itu tidaklah cukup. Liga sepak bola di Jepang saat itu memang sudah ada dengan nama Japanese Football League (JFL). Kompetisi itu sudah digelar sejak 1965 dan digelar secara semi-profesional. Saat itu, semua klub di Jepang dimiliki oleh perusahaan dan para pemainnya pun berstatus sebagai karyawan dari perusahaan pemilik klubnya itu.
Soal pendanaan, tidak pernah ada masalah. Keberadaan korporasi senantiasa menjamin adanya kompensasi yang layak bagi para pesepak bola. Yang kemudian menjadi masalah adalah keterikatan. Hampir tidak ada orang Jepang yang tertarik mendukung klub yang mewakili perusahaan. Hal ini menyebabkan animo penonton terus merosot sampai akhirnya kompetisi di Jepang hanya disaksikan tak lebih dari 1.800 orang per laganya.
Bagi para pengurus sepak bola Jepang, situasi semacam itu tidak bisa dibenarkan. Oleh karenanya, mereka mulai berbenah dan pembenahan itu dimulai dengan mengonsep segalanya dari awal. Rencana Jepang ini diproyeksikan untuk jangka panjang dan mereka menyebutnya sebagai 'Rencana 100 Tahun'.
Akhirnya, sistem kompetisi yang tak menarik itu diubah. Dari yang awalnya perusahaan, basis klub-klub Jepang diubah menjadi kota, persis seperti di Eropa. Untuk mewujudkan itu, pihak JFL membentuk sebuah komite khusus bernama Komite Revitalisasi. Para anggota komite ini bertugas untuk melakukan riset sedemikian rupa untuk mendongkrak animo masyarakat.
Hasil akhirnya adalah pembentukan J-League pada 1991. Di J-League, kompetisi yang tadinya bersifat semi-profesional diubah menjadi profesional. Perusahaan-perusahaan yang tadinya berstatus sebagai pemilik klub kali ini fungsinya diubah menjadi sponsor utama. Dana memang tetap mengalir dari korporasi-korporasi itu, tetapi alurnya yang diubah.
Akhirnya, J-League pun dipentaskan untuk pertama kali pada 1993. Pada saat itu, dengan dukungan dana yang melimpah, klub-klub Jepang bisa mendatangkan bintang-bintang besar macam Zico, Gary Lineker, dan Dragan Stojkovic. Animo masyarakat pun meledak. Mereka yang tadinya tidak peduli dengan sepak bola dibangkitkan oleh rasa penasaran. Stadion-stadion pun kemudian mulai penuh dan era sepak bola profesional yang sesuungguhnya dimulai.
Tak Cukup dengan Marquee Player
Mendatangkan bintang besar ke liga sepak bola yang belum atau kurang bergengsi sejatinya bukanlah formula baru untuk mendongkrak popularitas. Pada era 1960-an dan 1970-an, di Amerika Serikat hal seperti ini sudah dilakukan. Puncaknya adalah ketika klub North American Soccer Leagu (NASL), New York Cosmos, mendatangkan Pele, Franz Beckenbauer, dan Giorgio Chinaglia.
Apa yang dilakukan Jepang itu juga kemudian dilanjutkan sampai sekarang oleh China dan negara-negara Timur Tengah. Namun, yang jadi pembeda antara Jepang dan negara-negara tersebut adalah bagaimana Jepang menjaga agar liga mereka tidak menurun kualitasnya seandainya para pemain bintang itu pergi. Untuk itu, solusinya cuma satu, yakni mengembangkan pemain muda.
Pengembangan pemain muda di Jepang sebenarnya sudah bermula pada dekade 1980-an. Ketika itu, lewat anime dan manga 'Captain Tsubasa', demam sepak bola sudah mulai diperkenalkan. Namun, sampai pada titik itu, belum ada langkah konkret untuk mengubah ambisi menjadi prestasi. Langkah konkret itu sendiri baru dimulai pada awal 1990-an.
Beriringan dengan pembentukan liga sepak bola baru, Asosiasi Sepak Bola Jepang (JFA) juga menelurkan 'Rencana 100 Tahun' itu tadi. Rencana ini tidak main-main. Dalam 100 tahun, Jepang berniat untuk menjadi negara sepak bola terhebat di dunia. Yang menarik, rencana ini pun pada akhirnya tidak jadi pepesan kosong.
Jepang sadar bahwa sepak bola dimulai dari masa kanak-kanak. Untuk itu, mereka kemudian menyusun program yang diterapkan di sekolah-sekolah. Persis seperti di 'Captain Tsubasa', sekolah-sekolah inilah yang kemudian jadi fondasi pengembangan sepak bola Jepang.
Lalu, untuk menjaring bakat-bakat yang tersedia, Jepang menciptakan jaringan scouting yang terintegrasi sedemikian rupa. Tak lupa, mereka juga meningkatkan kualitas serta kuantitas pelatih-pelatih yang ada supaya nantinya, bocah-bocah ini tidak salah asuhan.
Jepang memang tidak sendirian melakukan ini. Mereka butuh bantuan dari seorang mantan pesepak bola profesional asal Amerika Serikat yang menetap di Jepang sejak akhir 1980-an. Namanya Tom Byer.
Tom Byer dan Identitas Sepak Bola Jepang
Beruntunglah Jepang karena mereka menunjuk Byer sebagai pemimpin program pengembangan pemain muda ini. Sebab, pria kelahiran 1960 itu punya cara yang tepat untuk menghasilkan pesepak bola andal.
Bagi Byer, sepak bola adalah tentang dua hal. Yakni, teknik dan kebahagiaan. Dari sanalah identitas persepakbolaan Jepang dibentuk. Byer bisa membuat anak-anak Jepang pada masa itu mempelajari teknik sepak bola dengan cara-cara yang menyenangkan dan akhirnya, pesepakbolaan Jepang pun tinggal landas.
Awalnya, Byer adalah seorang pelatih di sebuah akademi sepak bola tempat anak dari presiden Nestle Japan berlatih. Nestle Japan sendiri kemudian bertanggung jawab atas terbentuknya salah satu program latihan terbaik di Jepang. Dari sana, Byer membangun koneksi sampai akhirnya bisa dipercaya oleh JFA.
Upaya Byer tidak sampai di situ. Dia percaya bahwa sepak bola dimulai dari rumah. Maka dari itu, dia pun berusaha untuk selalu mencekoki anak-anak Jepang di rumahnya masing-masing dengan sepak bola. Caranya, melalui acara televisi 'Oha Suta' yang tayang tiap hari dan lewat dua halaman khusus di 'KoroKoro Komikku'. Lewat dua medium tersebut, Byer mengajarkan teknik sepak bola dengan cara yang menyenangkan.
Salah satu pemain yang diasuh Byer semasa kecil adalah Shinji Kagawa. Dalam diri Kagawa, kita bisa menyaksikan ide besar Byer terejawantahkan. Selain Kagawa, nama lain yang terpengaruh oleh Byer adalah Keisuke Honda. Meskipun tidak berlatih di bawah bimbingan Byer, Honda adalah pemirsa setia program TV yang diasuh Tomsan -- sapaan Byer -- tadi.
Inilah yang kemudian membentuk identitas sepak bola Jepang. Sedari kecil, pemain-pemain 'Samurai Biru' yang kini jadi penghuni Tim Nasional sudah kenyang dicekoki teknik, teknik, dan teknik oleh Byer. Maka, tak heran jika citra Jepang sebagai kumpulan pemain-pemain berteknik tinggi pun muncul.
Jepang Menang karena Melakukan Hal yang Benar
Pada akhirnya, segala upaya Jepang itu mulai menunjukkan hasilnya. Sejak 1998, mereka selalu lolos ke putaran final Piala Dunia. Mereka juga sudah mengoleksi gelar Piala Asia terbanyak sepanjang sejarah. Lalu, pada Piala Dunia edisi 2018 ini mereka pun jadi satu-satunya tim Asia yang masih berpeluang lolos ke babak 16 besar.
Jepang bisa mencapai ini semua karena mereka melakukan hal yang benar. Sesederhana itu saja sebenarnya. Namun, apa yang sederhana bukan berarti mudah dilakukan. Byer, dalam wawancara bersama The New Indian Express, mengatakan bahwa rahasia di balik ini semua adalah karakter masyarakat Jepang itu sendiri. Menurutnya, orang-orang Jepang tak jauh berbeda dengan Jerman, yang sangat terorganisir, punya disiplin tinggi, dan peka terhadap detail.
"Tidak heran jika kemudian banyak pemain Jepang yang berkarier di Jerman," tutur Byer.
Selain itu, Jepang juga 'diuntungkan' dengan kekalahan mereka di Perang Dunia II karena dari sana, mereka punya semacam tujuan bersama untuk bangkit dalam segala hal. Dari segi industri, mereka sudah melakukannya. Dari segi kultural, mereka juga terhitung sudah berhasil. Kini, dari segi olahraga, khususnya sepak bola, semuanya tengah diusahakan.
Salah satu usaha berhasil mereka yang sudah dilakukan adalah menjadi tuan rumah Piala Dunia. Bersamaan dengan digulirkannya J-League pada 1993 tadi, JFA mengajukan diri jadi tuan rumah Piala Dunia 2002. Gelaran tersebut akhirnya berhasil meninggalkan jejak di memori bocah-bocah Jepang yang sekarang sudah berlaga di kancah profesional.
Dengan pesatnya laju progres mereka ini, Jepang pun jadi sulit dikejar oleh negara-negara lain di Asia. Memang benar bahwa ada Arab Saudi, Iran, atau Korea Selatan yang juga punya persepakbolaan lumayan. Namun, tak satu pun dari para pesaing itu yang punya rencana sehebat Jepang. China kini sudah mulai melakukannya, juga di bawah bimbingan Byer, tetapi mereka sudah tertinggal hampir 30 tahun dari Jepang.

Oleh karenanya, jangan heran ketika kita semua nanti melihat Jepang menjadi negara Asia pertama yang mengangkat trofi Piala Dunia. Mereka sudah membidik itu dengan rencana hebat sejak 30 tahun silam. Apabila mereka nanti menjadi juara, tak ada penjelasan lain kecuali karena mereka memang pantas mendapatkannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ditegur makan es krim sambil berkendara, ekspresi pria ini kocak...

BERITA LUCU INDONESIA - Mengendarai motor ataupun mobil memang membutuhkan konsentrasi tinggi. Jika berkendara sambil melamun atau menga...

Popular Posts