BLI, Kamboja - Siem Reap merupakan kota populer sebagai pintu gerbang ke kawasan Angkor, yang menjadi tujuan utama wisatawan dunia. Sama halnya dengan saya dan kedua teman saya, Welah dan Julia. Kami mengunjungi "The city of Temples" yang mempunyai lebih dari 1000 kuil ini pada awal bulan Agustus lalu.
Kami datang melalui Poipet, kota perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Setiba di pusat transportasi utama antara kota Siem Reap-Bangkok ini, kami melihat cukup banyak pengemis jalanan. Beberapa diantaranya tanpa kaki.
Menurut Bong Cheni, sopir sekaligus guide yang menjemput kami, para pengemis tersebut adalah korban "landmines" atau ranjau darat yang masih banyak berserakan di tanah Kamboja. Katanya, untuk mengidentifikasi area ranjau, mereka menggunakan jasa tikus. Hah!?
Bong Cheni pun bercerita panjang. Setelah perang konflik rezim Khmer Roughe (Khmer Merah) tahun 1970, masih banyak ditemukan ranjau yang tersisa hingga sekarang. Ribuan orang yang kebanyakan adalah penduduk, terluka dan terbunuh setiap tahun karenanya.
Tiap bulan terdapat sekitar 300 sampai 700 orang diamputasi karena terinjak ranjau. Pada tahun 2012 ada lebih dari 4000 korban ranjau.
Film garapan Angelina Jolie berjudul "First They Killed My Father" bermain di ingatan saya. Saat Loung, seorang anak perempuan berusia 5 tahun dilatih paksa untuk memasang ranjau ketika perang sipil di Kamboja.
Lanjut Bong Cheni, di beberapa tempat dekat Seam Reap, terdapat pusat pelatihan tikus-tikus pemburu ranjau. Tikus-tikus ini dilatih untuk mencium TNT, serbuk bahan peledak dinamit. Kenapa tikus, bukan orang atau anjing?
Orang dengan detektor logam tidak hanya mempertaruhkan nyawa mereka namun akan membutuhkan waktu lebih lama yaitu sampai 5 hari untuk menemukan ranjau.
Anjing yang juga bisa dilatih, namun lebih mahal dan sulit kondisikan, karena berat tubuh yang bisa mengancam nyawa mereka. Karenanya, mereka menggantikannya dengan tikus.
Tubuh tikus lebih ringan dan kecil dengan penciuman tajam, akan lebih ‘aman’ untuk mengidentifikasikan titik ranjau yang terkubur di bawah tanah.
Cambodian Mine Action Center bekerja sama dengan organisasi non-profit asal Belgia bernama APOPO mengimpor tikus raksasa Gambia dari Tanzania, Afrika Timur. Tikus-tikus ini memiliki penglihatan buruk, namun indra penciuman luar biasa tajam, sehingga dapat menemukan bahan peledak dengan cepat.
Bong Cheni menunjuk ke arah sebuah bangunan yang kami lewati. "Itu adalah gedung Mine Detection Rats Museum. Di sana tercatat hampir 20.000 orang terbunuh sejak tahun 1979," katanya
Setelah dua jam perjalanan darat dari Poipet, kami tiba di Siem Reap. Kota pusat turis di Kamboja ini sangat sederhana dibanding dengan Phnom Phen, ibu kota negara bekas jajahan Perancis (1863 sampai 1953).
Bong Cheni menurunkan kami di lobi hotel dengan kisah tikus-nya yang belum selesai. "Saya lanjutkan ceritanya besok!" katanya.
Angkor Wat
Tepat jam empat subuh, kami dijemput Bong Cheni. Agenda hari ini adalah untuk mengunjungi kawasan kuil Angkor. Dengan membayar sewa transportasi seharga total Rp 600.000, Bong Cheni berjanji akan mengantar kami keliling kuil, sejak matahari terbit hingga terbenam.
Luas kawasan Angkor adalah 400 kilometer persegi atau setara dengan kota Palembang. Pasti puas!
Tiket masuk ke kawasan Angkor cukup mahal, yaitu 37 dollar AS untuk sehari, 62 dollar AS untuk tiga hari dan 72 dollar AS untuk tiket seminggu per orang.
Kami hanya membeli tiket harian. Uniknya, tiket berlatar belakang Kuil Angkor ini tercetak foto kami masing-masing, yang bisa kami bawa pulang sebagai "tanda mata".
Beberapa kuil terkenal yang sempat kami datangi adalah Angkor Wat, Phnom Bakheng, Angkor Thom, Bayon, Ta Prohm dan Ta Keo.
Angkor Wat adalah kuil keagamaan terbesar di dunia, dengan volume batu yang setara dengan piramid Cheops di Mesir. Situs Warisan Dunia UNESCO yang berisi sisa-sisa peradaban Khmer Merah yang megah ini, diilhami oleh agama Hindu pada abad ke-12.
Menara simetris kuil Angkor tercetak pada bendera Kekaisaran Kamboja modern yang merupakan satu-satunya bendera bergambar gedung di dunia (kemudian diikuti oleh bendera Afghanistan).
Diciptakan oleh Raja Suryavarman II, Angkor Wat dibangun selama 30 tahun dan masih terpelihara dengan baik hingga saat ini.
Selama lebih dari 500 tahun kuil ini merupakan pusat kerajaan Khmer Merah dan sekarang adalah jantung spiritual negara Kamboja. Ada lebih dari dua juta pengunjung ke situs Angkor setiap tahunnya.
Ini adalah kuil paling keren yang pernah saya liat. Walaupun, saya lebih menyukai kemegahan Candi Borobudur dan Prambanan, namun Angkor Wat lebih terasa magis-nya. Selain berfoto, kami menyempatkan diri untuk mendapatkan blessing dari seorang biksu disini.
Phnom Bakheng
Kuil abad ke-10 ini merupakan tempat paling populer untuk menyaksikan sunset, sehingga sangat ramai pada sore hari. Kami lebih memilih untuk menjelajah di sini saat matahari terbit karena masih sepi.
Angkor Thom dan Bayon
Angkor Thom dulunya adalah ibu kota Khmer yang terakhir dan paling abadi. Kompleks berdinding besar ini merupakan pusat kota terbesar di dunia pada tahun 1200.
Dikelilingi oleh wajah-wajah misterius di semua sisi, pengunjung tidak akan pernah melupakan kuil Bayon yang mempesona.
Tepat di pusat Angkor Thom, terdapat lebih dari 50 menara, dengan masing-masing dihias oleh empat kepala dan wajah raksasa Buddha Avalokiteshvara yang mirip dengan sang raja.
Ta Prohm
Kuil ini mungkin merupakan tempat yang paling terasa atmosfernya dari semua Kuil Angkor. Kuil yang dibangun oleh Raja Jayavarman VII diperuntukkan sebagai tempat tinggal ibunya.
Konon, di kuil ini menjadi bukti terjadinya kekuatan alam yang mengamuk sekaligus mengagumkan. Di sini, terdapat akar pohon besar yang menembus bangunan kuil. Saat melewati bangunan batu, kami melihat banyak pohon raksasa tumbuh dari puncak kuil.
Kuil ini adalah salah satu kuil yang paling sering dikunjungi dan sangat terkenal, karena menjadi lokasi film Indiana Jones dan Tomb Raider yang dikenal dengan karakter utamanya Lara Croft, dibintangi Angelina Jolie.
Ta Keo
Hari sudah siang dan udara semakin gerah, saat kami mengunjungi Kuil Ta Keo. Raja Suryavarman mendirikan kuil ini pada abad ke-10, namun tidak pernah selesai.
Di sini kami sempat tersesat mencari arah pintu keluar. Akibatnya, kami harus menyewa tuk-tuk untuk kembali ke parkiran depan, atau berjalan kaki sejauh dua kilometer.
Kelelahan berdiri, berjalan keluar masuk kuil, akhirnya kami putuskan Ta Keo sebagai kuil terakhir kami yang kami kunjungi.
Bong Cheni memaklumi ketika melihat kami tak kuat untuk melanjutkan perjalanan. Katanya, memang butuh waktu sedikitnya 3 hari untuk mengunjungi sebagian besar kuil, atau seminggu agar lebih mendalami semua area Angkor seluas 1.150 mil persegi ini.
Proyek Angkor yang dibangun oleh raja-raja Khmer, diperkirakan ditinggali oleh 1.000.000 orang di setiap kuil selama abad ke-12 dan 13.
Kami mampir di sebuah restoran lokal untuk makan siang. Restoran ini hanya khusus menjual makanan berbahan beras atau nasi. Mulai dari nasi putih, nasi goreng, nasi bakar dan mi nasi, sampai hidangan nasi manis sebagai penutup.
Untungnya, kami sudah selesai makan saat Julia berteriak kaget, karena melihat seekor tikus lewat. Masih terbawa cerita tikus, Julia bertanya apakah di area ini ada ranjau?
Sembari meneguk bir Angkor, Bong Cheni melanjutkan kisah tikus dan ranjau. Katanya, lokasi rawan ranjau kebanyakan adalah di daerah perbatasan konflik, di mana biasanya berada di luar kota atau pedesaan.
Daerah tersebut sudah dilengkapi dengan tanda peringatan, berupa papan berwarna merah bertuliskan "Danger Mines" atau "Bahaya Ranjau".
Seekor tikus bisa mencari lebih dari 200 meter persegi dalam waktu 20 menit. Sedangkan, proses melatih tikus untuk mengendus ranjau bukan hal yang mudah. Tikus-tikus ini perlu belajar bagaimana berada di sekitar manusia.
Mereka dilatih dari usia mingguan. Pelatih harus mengajari mereka mulai dari cara berjalan dengan tali di atas badan mereka, mencium bau bahan peledak, sampai mendengar bunyi ‘klik’ yang berarti makanan sebagai hadiah atas temuannya.
Ketika tikus yang sudah terlatih menemukan ranjau, mereka akan berhenti dan menggaruk. Kemudian ahli peledak akan mulai menggali dan meledakkannya di lokasi. Keseluruhan proses pelatihan ini memakan waktu sekitar sembilan bulan untuk setiap tikus.
Berkat tikus-tikus ini, korban jiwa akibat ranjau menurun drastis setiap tahun. Kini, 50 persen penduduk Kamboja dapat meneruskan mata pencaharian mereka, yaitu bertani dan membangun rumah diatas lahan bebas ranjau.
Hiburan Malam
Tina, seorang teman asal Indonesia yang menetap di Siem Reap selama 2 tahun mengajak kami untuk merasakan kehidupan malam ala-Kamboja. Ia mengantar kami ke Pub Street, pusat hiburan malam di Siem Reap.
Di sini terdapat pasar seni yang menjual jajanan, makanan dan pusat perbelanjaan pakaian lokal. Kami sempat dibelikan Tina beragam atasan, bawahan dan syal bergaris merah tua-putih. Menurutnya, corak tersebut adalah gaya Khmer yang menjadi pakaian khas Kamboja.
Selain Angkor Wat, kota dengan arsitektur bergaya kolonial Perancis ini juga menawarkan situs destinasi lainnya, museum, pertunjukan tari dan budaya tradisional Apsara dan French Old Quarter, yaitu daerah yang kental dengan bangunan bergaya Perancis.
Tak heran, banyak restoran Perancis di sini lengkap dengan pelayan lokal yang fasih berbahasa Perancis.
Ada perasaan lega melihat penduduk yang seakan telah terbebas dari belenggu komunis Khmer Merah. Cerita Bong Cheni soal tikus yang berujung pada kisah panjang rezim Khmer Merah, terbayang dibenak saya.
Kekuasaan Khmer Merah yang melarang warganya untuk menerima pengaruh negara asing, seperti menggunakan obat dari luar negeri saat sakit, bekerja untuk pemerintah, menjadi biksu, sampai belajar menjadi pintar.
Pembunuhan massal sebanyak sepertiga atau dua juta penduduk Kamboja dibunuh oleh Khmer Merah, yang kebanyakan adalah para biksu, keluarga pekerja profesional, guru dan pelajar serta orang berkaca mata.
Doktrin Khmer Rouge melarang adanya agama apa pun di Kamboja, sekaligus melarang penduduknya untuk berpendidikan tinggi, apalagi menerima kemajuan dari pengaruh negara asing ke dalam kehidupan warganya.
Tak diragukan lagi, Kamboja memang adalah negara sarat sejarah, namun sangat indah dengan penduduknya yang baik dan ramah, seperti Bong Cheni.
Meskipun trauma konflik masa lalu masih tersisa, namun pengalaman selama di Siem Reap, memberi kami pelajaran yang berharga, selain tentang kemanusiaan, juga mengenai seekor tikus, sang penyelamat nyawa.
Rekomendasi Penginapan
Kami memilih penginapan berdasarkan area dan keunikan hotel, termasuk layanan serta sentuhan lokal kota, untuk dapat merasakan pengalaman yang berbeda. Ada dua pilihan area yang menjadi tempat terbaik untuk penginapan.
Yang pertama adalah daerah Central Park, yang merupakan jantung kota Siem Reap. Kami memilih Victoria Angkor Resort & Spa yaitu resor bintang lima yang berada tepat di depan Royal Park.
Saya suka arsitektur kolonial Prancis resor ini dan berdekatan dengan lokasi kuil Angkor Wat. Silakan kunjungi www.victoriaangkorhotel.com.
Area kedua adalah di Phum Wat Damnak yaitu lokasi Rambutan Resort. Area ini adalah daerah perumahan yang tenang, namun sangat dekat dengan pusat keramaian seperti Pasar Seni, Pub Street, restoran, bar dan, tentu saja pusat perbelanjaan. Silakan kunjungi www.rambutanresortsr.com
Tips
1. ATM di Siem Reap kebanyakan mengeluarkan uang dollar AS karena mata uang yang digunakan di sana selain mata uang Riel juga menggunakan dollar AS.
2. Karena udara yang cukup panas dan lembab, jangan lupa membawa sunscreen, topi dan tisu basah saat mengunjungi Kawasan Angkor.
3. Disarankan untuk menyewa mobil dibandingkan tuk-tuk untuk berkeliling Kawasan Angkor, karena jarak antar kuil yang berjauhan.
4. Biasanya penginapan di Siem Reap akan menyediakan sarapan pagi untuk wisatawan yang berangkat subuh ke Kawasan Angkor. Namun, jangan membawa bekal ke dalam kuil, karena di sana banyak monyet agresif yang akan menarik langsung dari tangan Anda.
5. Jika berani, cobalah makanan populer Kamboja yaitu kebab tarantula!
6. Kunjungi Kamboja pada bulan November karena di sana ada Bonn Om Teuk atau festival air dan balapan perahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar