BERITA LUCU INDONESIA - Soeharto sebenarnya sudah cukup lama berusaha diam ketika suara-suara berisik yang mengkritik gagasan istrinya mulai terdengar pada awal dekade 1970-an itu. Siti Hartinah alias Tien Soeharto mengungkapkan keinginan agar dibuat suatu miniatur Indonesia di Jakarta. Kelak, hasil proyek itu diberi nama Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Sebagai seorang jenderal sekaligus presiden, harga diri Soeharto tentu saja terusik, apalagi yang dicerca adalah istri tercintanya. Akhirnya, the smiling general sudah tidak tahan lagi. Kemarahannya yang khas –tidak meledak-ledak tetapi disampaikan dengan intonasi yang dalam dan terkesan mengintimidasi– terluap saat ia berpidato di sebuah acara pada 6 Januari 1972.
Dikutip dari buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (2004) yang disusun Rum Aly dan Hatta Albanik, Soeharto memang tidak langsung menyalahkan mereka yang melancarkan protes, termasuk aksi unjuk rasa oleh kalangan mahasiswa. Ia mengakui bahwa perbedaan pendapat memang merupakan bumbu demokrasi.
“Tetapi,” lanjut Soeharto, “harus dalam batas-batas keserasian dan jangan hanya ingin menggunakannya sehingga timbul kekacauan, khususnya, dalam menghadapi proyek miniatur Indonesia.” (hlm. 175).
Sebesar apapun gelombang protes, nyatanya megaproyek itu tetap terlaksana, dan berdirilah miniatur Nusantara di areal seluas sekitar 150 hektare yang terletak di Jakarta Timur. TMII diresmikan pada 20 April 1975 dan berada di bawah naungan Yayasan Harapan Kita, dengan Siti Hartinah selaku ketuanya.
Terinspirasi Disneyland?
Ide itu konon muncul saat Tien Soeharto menemani suaminya dalam suatu kunjungan ke Amerika Serikat pada awal era 1970-an. Salah satu agenda kunjungan tersebut adalah menyambangi taman rekreasi Disneyland di California.
Saat menikmati wahana rekreasi kelas dunia yang dibuka sejak 1955 itulah tercetus dalam pikiran Tien untuk membuat sesuatu yang kurang lebih sama di Jakarta, dengan nuansa yang tentu saja lebih Indonesia.
“… Ny. Soeharto tersentak bagaikan disambar petir oleh sebuah inspirasi untuk membangun sebuah taman yang dapat melambangkan Indonesia Indah dalam bentuk mini,” tulis Frances Gouda dalam [Dutch Cultures Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942](https://books.google.co.id/books?id=D15Q0v2e0MsC&pg=PA407&dq=taman mini disneyland&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjNzLyastnaAhVMEVAKHb6uDSYQ6AEIQzAE#v=onepage&q=taman mini disneyland&f=false “Dutch Cultures Overseas”) (2007:407).
Namun, Tien menghendaki Disneyland versi Indonesia nantinya tidak sekadar menjadi tempat hiburan semata, melainkan harus “lengkap secara spiritual serta material” untuk mewujudkan budaya nasional. Paparan ini tertulis dalam memorandum “Masalah Proyek Miniatur Indonesia Indah” yang dibahas di Sidang DPR-RI tahun 1971/1972 (DPR-RI, Suatu Catatan Kegiatan DPR-RI Periode 1971-1977, 1977:78).
Sebelum ke parlemen, yang 336 dari total 460 kursinya milik Golkar dan Fraksi ABRI, gagasan untuk mewujudkan pembangunan TMII dipaparkan lebih rinci oleh Tien dalam pertemuan dengan pengurus Yayasan Harapan Kita yang dipimpinnya, bertempat di kediaman keluarga Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta Pusat.
Jika dicermati, sebenarnya terdapat ketidaksesuaian terkait apakah benar gagasan Tien tentang pembangunan TMII terinspirasi Disneyland di California, atau justru ibu negara ini sudah terlebih dulu punya ide tersebut sebelum berkunjung ke Amerika Serikat.
Banyak sumber lokal, termasuk website resmi TMII, meyakini bahwa Rapat Pengurus Yayasan Harapan Kita itu dilakukan pada 13 Maret 1970. Sedangkan sejumlah referensi lain, kebanyakan ditulis bukan oleh orang Indonesia, menyebut kunjungan ke Disneyland terjadi tahun 1971 dan dalam momen itulah proyeksi TMII hadir.
Dalam buku The Heritage Theatre: Globalisation and Cultural Heritage (2011) suntingan Marlite Halbertsma, mengutip John Pemberton dalam On the Subject of Java (1994), bahkan tertulis bahwa ide TMII bukan hanya terinspirasi Disneyland di California. Pada 1971 pula, Tien dan Soeharto mengunjungi proyek serupa di Bangkok, Thailand (hlm. 51).
Menurut Pemberton, yang dinukil Halbertsma dalam bukunya, gagasan TMII muncul setelah dua kunjungan tersebut. Disebutkan juga pembangunan proyek miniatur Indonesia itu dimulai pada 1972 atau hanya setahun setelah lawatan Tien Soeharto ke California dan Bangkok.
Barangkali memang benar Tien sudah mencetuskan ide itu dalam Rapat Pengurus Yayasan Harapan Kita pada 13 Maret 1970. Di tanggal itu, Tien mengirim surat kepada arsitek terkemuka, Haryasudirja, untuk merancang desain proyek miniatur Indonesia (J. Pamudji Suptandar, dkk., Profesor Doktor Insinyur P.K. Haryasudirja, 2005:165).
Kemudian, boleh jadi, saat mendampingi Soeharto melawat ke Amerika Serikat dan Thailand pada 1971, Tien semakin yakin dengan gagasan pembangunan proyek TMII tersebut.
Ambisi Besar Ibu Negara
Pada Desember 1971, Siti Hartinah selaku istri presiden berbicara di depan para istri gubernur dari seluruh provinsi di Indonesia. Forum ini terselenggara atas permintaan Tien sendiri dan tentu saja direstui oleh Presiden Soeharto. Sehari sebelumnya di tempat yang sama, Soeharto memimpin pertemuan gubernur se-Indonesia.
Kepada para istri kepala daerah dalam pertemuan tersebut, Tien meminta dukungan. Para istri diimbau untuk melobi suami-suami mereka yang gubernur itu agar berpartisipasi dalam proyek miniatur Indonesia yang akan segera dilaksanakan, antara lain dengan membangun rumah-rumah adat khas daerah masing-masing, menyajikan berbagai hasil kerajinan daerah, hingga urun dana.
Sekretaris kabinet kala itu, Sudharmono, memberikan keterangannya usai pertemuan tersebut. “Karena pemerintah sedang memusatkan perhatian dari sumber dana yang ada bagi pembangunan ekonomi, pemerintah dapat menyetujui kalau proyek itu dapat dibiayai oleh masyarakat sendiri,” ucapnya.
“Untuk itu,” imbuh Sudharmono, “para gubernur yang juga mempunyai kepentingan untuk menyajikan seni budaya daerah masing-masing agar mengerahkan potensi di daerahnya untuk pembangunan proyek tersebut.” (Aly & Albanik, 2004:165).
Amir Machmud selaku Menteri Dalam Negeri pada waktu itu turut pula unjuk gigi. Kepada ibu negara, ia berkata dengan mantap, “Dengan segala kewibawaan saya, saya berkewajiban menyukseskan proyek itu. Percayalah, Bu Tien, semua aparat daerah yang saya pimpin akan saya kerahkan.”
Dengan gayanya yang khas, Amir Machmud yang termasuk jenderal paling setia kepada Soeharto dan konon menjadi saksi penandatanganan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) ini lantas memperagakan apa yang akan ia katakan kepada para gubernur yang menjadi bawahannya.
“Saudara-saudara gubernur,” lagaknya seperti dikutip dalam Aly & Albanik (2004), “dengan ini saya putuskan bahwa saudara-saudara saya angkat sebagai kepala proyek Miniatur Indonesia Indah di daerah saudara masing-masing.” (hlm. 33).
Dengan kata lain, Amir Machmud akan segera memberikan perintah, yang sangat kecil kemungkinannya untuk bisa ditolak, kepada para gubernur di seluruh provinsi di Indonesia supaya menghimpun dana dengan cara apapun untuk mewujudkan kehendak sang ibu negara.
Demi Istri, Proyek Jalan Terus
Seruan yang mengkritik ambisi Tien Soeharto membangun proyek miniatur Indonesia semakin mengemuka setelah pertemuan dengan istri-istri gubernur itu. Tak hanya dari mahasiswa, banyak kalangan lain, termasuk kaum cendekiawan, teknokrat, serta pengusaha, yang tidak sepakat dengan keinginan sang istri presiden.
Para penentang menilai, proyek TMII kontraproduktif karena justru bertentangan dengan seruan Presiden Soeharto yang mengimbau kepada para kepala daerah dan seluruh rakyat agar berhemat. Lucunya, imbauan itu diucapkan Soeharto dalam forum pertemuan gubernur se-Indonesia di tempat yang sama sehari sebelumnya.
“Jangan melakukan pemborosan-pemborosan karena sebagian besar rakyat masih hidup miskin,” kata presiden dalam forum tersebut. “Kita masih harus mengeratkan ikat pinggang, masih harus bekerja keras untuk mencapai tujuan dan harapan-harapan kita.” (Aly & Albanik, 2004:166).
Dengan adanya proyek TMII ini, baik pemerintah pusat maupun daerah tentunya harus menyisihkan atau mencari uang untuk mewujudkannya, termasuk dengan melibatkan berbagai pihak lain, termasuk rakyat Indonesia pada umumnya.
Terlebih, dikutip dari artikel berjudul “Tatkala Presiden Tersinggung dan Marah” dalam *website Sosio-Politika *(24 Februari 2010), terdengar kabar bahwa dana yang dibutuhkan berkisar antara 100 juta hingga 300 juta dolar AS (dengan kurs sekitar 200 rupiah saat itu), meskipun sudah dibantah oleh Tien yang “hanya” menyebut angka 10 miliar rupiah.
Dana dalam jumlah besar itu membuat sejumlah pejabat atau politisi lain kesal. Soeharto tega merogoh uang negara hanya untuk memenuhi hasrat istrinya. Itu pemborosan ketika negara masih memiliki kebutuhan lain yang jauh lebih mendesak untuk dibiayai (Laure Zentz, [Statehood, Scale and Hierarchy: History, Language and Identity in Indonesia], 2017).
Selain itu, pihak-pihak yang kontra merasa janggal dengan adanya pertemuan dengan istri-istri gubernur pada Desember 1971 itu, terlebih ketika Tien tampil ke muka sebagai ibu negara sekaligus Ketua Yayasan Harapan Kita yang merupakan yayasan swasta.
Tien –yang tentu saja mengetahui agenda forum pertemuan gubernur– ditengarai sengaja memanfaatkan forum tersebut untuk mengumpulkan istri-istri kepala daerah agar bisa menyampaikan keinginannya terkait proyek miniatur Indonesia.
Soeharto yang sempat diam atas reaksi penolakan proyek TMII akhirnya bereaksi keras karena protes mulai menyinggung pribadi istrinya. Soeharto kemudian memerintahkan penahanan terhadap empat orang pimpinan demonstrasi sampai sekitar satu bulan (Arief Budiman “Matinya Masyarakat Madani”, dalam Majalah Tempo Edisi Khusus Soeharto, 4-10 Februari 2008:97).
Adapun Tien juga tak gentar dengan kekesalan mahasiswa yang dialamatkan kepadanya. Pada awal Januari 1972, ia mengundang perwakilan mahasiswa untuk berdialog. Pertemuan ini dijaga ketat, berlangsung tertutup, dan dihadiri oleh hampir semua pejabat penting negara.
Sebanyak apapun dialog yang dilakukan, tetap saja Tien enggan mengurungkan niatnya. Tak lama setelah pertemuan itu, megaproyek miniatur Indonesia dimulai. Tanggal 20 April 1975, ibu negara amat sumringah karena TMII diresmikan pada hari itu. Hasratnya terpenuhi sudah.
TMII menjadi salah satu warisan dari Tien Soeharto yang wafat 28 April 1996. Selang 22 tahun setelah meninggalnya, TMII masih menjadi salah satu tempat pariwisata yang difavoritkan masyarakat, meski dulu pembangunannya diwarnai oleh sejumlah kontroversinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar