BLI, Jakarta - Label sekolah agama di Indonesia kian menjamur. Beragam visi dan misi sekolah ditawarkan agar anak bisa sekolah dengan anak lain yang seagama. Lantas, apakah hal ini bisa memicu intoleransi pada anak?
Psikolog anak, Astrid W.E.N., MPsi mengatakan, hal demikian tidak bisa disimpulkan begitu saja sebab ada banyak sekolah agama yang sebenarnya mengajarkan nilai-nilai toleransi.
"Ketika orangtua memasukkan anak ke sekolah agama, sebenarnya bukan berarti sekolah itu tidak mengajarkan toleransi. Karena yang namanya sekolah agama, mereka memiliki nilai universal yang mengajari anak untuk saling menghargai atau menyayangi sesama manusia," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (16/11/2017).
Menurut praktisi Theraplay PION Clinican tersebut, orangtua tidak perlu selalu melihat label agamanya, tapi justru mendalami prinsip-prinsip toleransi yang ada di sekolah.
"Apakah anak diajarkan menghormati guru, menghargai temannya, apakah terjadi kekerasan, atau di sekolahnya ada perpeloncoan yang tidak sehat atau ada kekerasan yang seharusnya dilaporkan. Nilai-nilai toleransi itu lebih penting diperhatikan orangtua," ujarnya.
Astrid percaya, ada banyak sekolah agama di Indonesia yang menanamkan nilai toleransi di sekolah berlabel agama, baik Islam, Kristen, Hindu, atau Buddha. Semua sekolah memiliki visi dan misi yang bisa menjadi pertimbangan bagi orangtua.
Orangtua harus tahu tujuan menyekolahkan anak
Sebelum memasukkan anak di sekolah tertentu, orangtua harus memikirkan tujuannya. "Karena ada banyak pilihan, sekolah karakter, negeri, swasta, internasional ataupun yang berlabel agama."
Hal ini penting, kata Astrid, karena sekolah akan menumbuhkan karakter pada anak. Misalnya, orangtua ingin anaknya memiliki nilai agama yang kuat. Lantas sekolah agama jadi referensi dengan harapan sekolah ini lebih meyakinkan untuk meraih tujuan dibanding sekolah lain.
"Tapi harus dilihat apakah aplikasi agamanya sudah sesuai atau belum. Begitupun dengan sekolah swasta atau internasional, yang mungkin sesuai dengan harapan orangtua agar anaknya bisa berbahasa Inggris," ujarnya.
Anak belajar dengan sendirinya
Pada usia dini dan anak mau sekolah, biasanya ada kelas trial (percobaan). Ini jangan diabaikan, kata Astrid.
Menurutnya, anak belajar dari pengalamannya. "Ketika dia datang untuk kelas trial, orangtua bisa melihatnya, apakah dia suka lingkungannya, apakah dia bisa melebur dengan anak lain, interaksi guru-gurunya dan apakah mendukung positif tumbuh kembang anak."
Berbeda halnya dengan remaja yang membutuhkan proses diskusi. "Kalau sudah remaja, anak sudah bisa ditanya, 'Bagaimana, oke enggak sekolah di sana?'. Kalau dia bilang 'Aku sekolah di sini aja, Ma ... karena lebih memotivasi', dan orangtuanya sanggup, ya silakan saja. Tapi ada diskusi di sana."
Sumber : Liputan6.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar